Tentang Kami

GAMBARAN UMUM

JEJAK SEJARAH BALEARJOSARI

Meskipun tidak ada sumber sejarah yang secara langsung menginformasikan mengenai Kelurahan Balearjosari, akan tetapi dalam kitab-kitab kuno telah dikenal sebuah wanua dengan sebutan Panawijen. Wilayah wanua (satuan desa) panawijen tersebut saat ini terbagi menjadi Kelurahan Polowijen, Kelurahan Balearjosari dan Kelurahan Arjosari. Beberapa sumber sejarah tersebut antara lain Prasasti Kanjuruhan B dan Kitab Pararaton.

Sumber informasi tertua tentang situs Panawijen yang disebut dalam Prasasti Kanjuruhan B yang dikeluarkan oleh Paduka Sri Maharaja Mpu Sindok bertarikh Saka 865 (943 masehi). Disebutkan bahwa Panawijen merupakan sima yang berupa sawah pegagan (sawah untuk tanaman padi gogo) yang terletak dalam Wateg Kanjuruhan. Tanah sima tersebut diperuntukkan guna pemujaan kepada Sang Hyang Rah Tha’. Adapun ukuran sawah yang dihadiahkan atau yang diberikan oleh Wateg Kanjuruhan seluas 13 joong, dimana 2 joong diantaranya dipergunakan untuk penanaman padi gogo yang mendapat pasokan air dari saluran air (suekan).
Keberadaan tentang tempat pemujaan terhadap sawah nenek moyang ini (parihiyangan) nampaknya terus berlanjut hingga masa Singhasari bahkan sampai ke masa Majapahit. Hal ini diinformasikan dalam Kitab Pararaton yang menyinggung ten-tang keberadaan rukun keagamaan di Panawijen. Dalam Kitab Pararaton juga disebut-kan bahwa Panawijen merupakan tempat kediaman seorang pujangga pemeluk agama Budha Mahayana yang bernama Mpu Purwa.
Lebih lengkap dan jelasnya kutipan dari Kitab Pararaton yang telah dialihbahasa-kan adalah sebagai berikut :

Uraian diatas sangat menarik perhatian. Nama Wanua Panawijen tempat Mpu Purwa sejajar dengan nama Pawinihan dalam Tantu Panggelaran. Dalam Tantu Pang-gelaran, Pawinihan adalah nama tempat Dewa Brahma dan Dewa Wisnu menciptakan manusia laki-laki dan manusia perempuan yang pertama sebagai penghuni Pulau Jawa. Demikianlah menurut Tantu Panggelaran, manusia pertama di Pulau Jawa tinggal di Pawinihan. Kemudian mereka menyebar ke berbagai tempat lainnya. Pawinihan berasal dari kata winih yang berarti benih, sedangkan Panawijen berasal dari kata wiji yang ber-arti benih juga.
Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa wanua Panawijen sebagai tempat pemukiman paling tidak sejak tahun 943 masehi. Pada waktu itu Panawijen me-rupakan daerah perladangan untuk penanaman padi gogo yang statusnya sebagai sima (tanah yang diberikan keistimewaan bebas membayar pajak) yang diberikan oleh Wateg Kanjuruhan untuk pemujaan Parhiyangan.

INTERPRETASI SEJARAH BALEARJOSARI

Memang sejak hilangnya kekuasaan pemerintahan kerajaan Majapahit sekitar tahun 1520 M, semua daerah bawahan melepaskan diri dan mendirikan pemerintahan sendiri, tidak terkecuali Malang. Pada jaman pemerintahan Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam, Malang jatuh ke tangan kekuasaannya, sehingga pengaruh Mataram sangat besar di daerah Brang wetan (termasuk Malang). Pada jaman inilah banyak tra-disi adanya „Bedah Krawang‟ (pembuka hutan) yang digunakan sebagai lahan tempat tinggal, yang dimotori oleh tokoh-tokoh berkharisma yang berasal dari wilayah Mataram Jawa Tengah. Seperti contohnya daerah Polowijen dibuka kembali oleh tokoh yang ber-nama „Eyang Jibris‟ yang berasal dari Demak. Daerah Kemirahan dibuka oleh „Eyang Ronggo‟, daerah Dinoyo oleh „Eyang Aji Singo Menggolo‟, daerah Klojen oleh „Eyang Nolodremo‟, daerah Gribig oleh „Aryo Pamucung/Ki Ageng Gribig‟, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan penuturan tokoh masyarakat atau sesepuh desa, sebelum terbentuk menjadi desa atau kelurahan ada seorang bernama Kidang Layang yang berasal dari Madura datang menempati daerah tersebut. Karena daerah tersebut tandus diceritakan Kidang Layang menanam pohon Asem dan menjadikannya sebagai pekarangan asem , sehingga pada akhirnya daerah tersebut dinamakan Karang Asem. Selanjutnya Kidang Layang melakukan perjalanan ke arah timur dan bertemu dengan seseorang yang sama-sama berasal dari Madura yang mempunyai julukan Bindoro atau Kyai yang telah me-netap dan mengajarkan ilmu agama islam di daerah tersebut. Setelah beberapa lama Kidang Layang menetap di daerah tersebut, pada suatu waktu Kidang Layang menda-pati sebuah pohon cerme besar yang buahnya sangat lebat, akhirnya oleh Kidang Layang daerah tersebut diberi nama Dusun Cerme.
Selanjutnya Kidang Layang melanjutkan perjalanannya ke arah timur dan Kidang Layang menemukan sebuah sumber mata air. Sumber mata air tersebut sering dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan adanya sumber mata air tersebut masyarakat merasa senang, dan oleh Kidang Layang daerah tersebut dinamakan Sumbersuko. Beberapa tahun kemudian Ki-

Kidang Layang meninggal dunia dan dimakamkan di tempat semula Kidang Layang per-tama kali datang, yaitu di pekarangan asem atau disebut Karang Asem di bawah pohon Bendo. Pada saat itu di tempat pemakaman Kidang Layang dijadikan punden dan oleh masyarakat di sekitar pemakaman tersebut dibangun balai yang berfungsi sebagai tem-pat musyawarah masyarakat. Pada akhirnya ada seorang tokoh masyarakat mempunyai gagasan untuk menjadikan tempat-tempat yang telah disinggahi oleh Kidung Layang se-bagai sebuah dusun, yaitu Dusun Karang Asem, Dusun Cerme dan Dusun Sumbersuko dan masing-masing dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun yang ditunjuk langsung oleh masyarakat. Pada dasarnya kepala dusun adalah seorang sesepuh/tokoh masyara-kat.
Sesuai dengan perkembangan jaman. Dengan adanya pemerintahan kabupaten di Malang, maka daerah Malang semakin ramai, begitu pula daerah sekitar kali mewek yang juga merupakan daerah kabupaten Malang masuk wilayah kawedanan Singosari. Pembagian desa pun diperjelas, dimana daerah sekitar kali mewek yang kecil menjadi pusat komunitas. Daerah yang kecil ini menjadi pemukiman (BALE) dan semakin ramai (ARJO) serta pusat dari pemukiman penduduk disekitarnya untuk bermukim (SARI). Se-jak itulah daerah sekitar kali mewek lebih dikenal menjadi daerah BALEARJOSARI, dan akhirnya menjadi sebuah desa dengan nama “BALEARJOSARI”.
Dengan adanya pembagian wilayah desa, maka balearjosari menjadi desa tersendiri. Batas-batasnya pun ditentukan sendiri oleh kondisi alam yang memben-tuknya. Artinya batas itu tidak dibuat saat itu juga, tetapi batas itu menurut batas yang sudah terbentuk sejak dulu, seperti sungai Mewek, jalan Malang-Surabaya yang awal-nya merupakan jalan kuno, sungai Kalisari, dan sungai irigasi. Batas-batas ini tentunya merupakan warisan dari sebuah sistem yang dulunya disebut sistem „Panyatur desa‟ atau „Mancapat‟, yaitu satu desa induk yang di sekitarnya terdapat desa-desa yang mengelilinginya.

ORBITASI

Secara geografis Kelurahan Balearjosari merupakan kelurahan yang berada di posisi paling utara sekaligus sebagai pintu gerbang masuk kota Malang dan berada di-dalam wilayah Kecamatan Blimbing Kota Malang. Memiliki karakter sebagai kawasan transisi yaitu kawasan yang berbatasan dengan Kabupaten Malang. Luas lahan yang ada di Kelurahan Balearjosari adalah 151,1 Ha. Lahan terbangun yang ada adalah seluas 78,7 Ha dan lahan tidak terbangunnya mencapai 72,4 Ha. Kelurahan Balearjosari memiliki kepadatan penduduk yang tergolong rendah yaitu 292 penduduk/Ha. Prosentase perbandingan lahan terbangun dan tidak terbangun adalah 52,02% : 47,98 %. Dengan kondisi demikian maka di Kelurahan Balearjosari masih dimungkinkan untuk dibangun perumahan serta sarana dan prasarana yang dapat mendukung perumahan.
Pusat pemerintahan Kelurahan Balearjosari terletak di Jalan Raya Balearjosari 9 Malang. Terdiri dari 6 (enam) Rukun Warga (RW) dan 41 (empat puluh satu) Rukun Tetangga (RT), berada di ketinggian 417 m dari permukaan laut, suhu udara 27 ºC dan curah hujan sebanyak 202 mm/tahun.

PETA KELURAHAN BALEARJOSARI

Lihat Peta Lebih Besar

KONTAK

Alamat:
Jl. Balearjosari No. 9
Nomor Telepon:
0341 481119

 

Exit mobile version